Search This Blog

Friday, May 15, 2009

ASEAN value: Distinct ASEAN approach to human rights issues and democracy

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan disiplin yang dipopulerkan oleh bangsa Barat. Bangsa Barat mengklaim HAM sebagai sebuah ilmu yang mereka sumbangkan kepada umat manusia. Dalam diskursus politik hukum internasional publik, akademisi hukum tersebut menyadari bahwa nilai HAM universal sangat dipengaruhi oleh negara yang berkuasa secara politik. Dalam kaitannya dengan konteks di atas, perkembangan nilai HAM di dunia menunjukkan bahwa HAM bukan hanya milik bangsa Barat melainkan sudah tertanam erat di dalam filosofi dan ideologi hidup bangsa Timur seperti Singapura dan China. Prinsip demokrasi dan HAM di China dan Singapura sangat terkait erat dengan ajaran Konfusius. Aliran pemikiran ini populer dengan istilah Asian value.
Prinsip HAM yang dipropagandakan bangsa Barat adalah prinsip universalitas. Prinsip ini menyatakan bahwa nilai HAM seharusnya mempunyai makna yang sama di negara manapun di dunia karena semua manusia pasti memiliki rasa kemanusiaan dan rasa kemanusiaan ini merupakan pilar terbentuknya HAM. Pendapat tersebut kurang tepat karena nilai-nilai kemanusiaan tenyata sangat bergantung kepada nilai budaya, ideologi, dan agama setempat. Nilai universalisme mengadvokasi sebuah keragaman atau standardisasi, padahal universalitas tidak berarti uniformitas (keragaman). Prinsip universalitas menjadi tidak bertanggung jawab jika semua negara diwajibkan mematuhi nilai HAM tertentu, misalnya hak kebebasan berekspresi dalam pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Salah satu utamanya adalah karena nilai-nilai yang terkandung dalam ICCPR sangat dipengaruhi oleh paham Barat terhadap nilai HAM, yang artinya tidak ada keseimbangan pengaturannya dalam mengakomodasi nilai-nilai HAM bangsa Timur. Hal ini bisa dikategorikan sebagai penjajahan nilai HAM.
Contoh kasus yang sangat berkaitan dengan konflik antara nilai HAM Barat dan Timur dalam konteks kebebasan berekspresi adalah kasus Dr. Lingle, seorang warga Amerika Serikat yang melayangkan kritik terhadap pemerintah Singapura yang diktator dan melanggar HAM dalam konteks kebebasan berekspresi. Amerika Serikat menuntut perlakuan hukum yang berbeda terhadap warganya dengan warga negara Amerika Serikat. Salah satu argumen dari Amerika Serikat adalah pemerintah Singapura merupakan negara yang barbar. Pemerintah Singapura mengatakan bahwa tidak ada negara di dunia ini yang memberlakukan hukum yang berbeda untuk warga negara yang berbeda. Semua orang di dalam jurisdiksi sebuah negara terikat oleh ketentuan hukum yang sama.
Meskipun Singapura menentang prinsip universalitas secara absolut, namun sarjana hukum Singapura setuju bahwa prinsip universalitas berlaku secara terbatas. Contoh semua manusia pasti tidak setuju terhadap diizinkannya genosida, penyiksaan, agresi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan perdagangan orang. Konsep ini dikenal dengan irreducible core. Oleh karena itu, nilai HAM tidak seharusnya diseragamkan secara absolut. Ada beberapa nilai HAM yang berbeda antara satu negara dengan negara lain karena faktor budaya, ideologi, dan agama. Dalam nilai HAM setiap negara, kriminalisasi terhadap nilai HAM irreducible core juga dilakukan. Sehingga pengaturan HAM secara universal sebaiknya berangkat dari perspektif lokal.

No comments:

Post a Comment