Search This Blog

Friday, May 15, 2009

Hak Asasi Manusia Universal Yang Bersifat Lokal: Studi Terhadap Hak Kebebasan Berekspresi Dalam Pasal 19 ICCPR

I. LATAR BELAKANG
Hak kebebasan berekspresi sangat erat kaitannya dengan nilai budaya, ideologi, dan agama sebuah negara. Misalnya, Singapura menganut prinsip perlindungan hak kebebasan berekspresi yang sangat minimum, terutama terkait dengan hak kebebasan berekspresi terhadap kinerja pemerintahnya. Sarjana hukum dalam bidang comparative constitutional law berpendapat bahwa alasan Singapura melindungi para pejabat negaranya adalah karena pencemaran nama baik terhadap pejabatnya mempunyai dampak yang besar terhadap kinerja pemerintahannya. Selain itu, pencemaran nama baik mempunyai dampak (damage) yang lebih besar terhadap seorang pejabat daripada seorang warga masyarakat biasa. Menurut Kausikan, pandangan ini berseberangan dengan prinsip yang dianut di Amerika Serikat yang berpendapat bahwa seorang pejabat publik (public figure) karena jabatannya harus menanggung resiko kritik dan pelanggaran privasi dari media massa. Oleh karena itu, pencemaran nama baik merupakan resiko yang akan sering menimpa seorang pejabat publik. Perbedaan ini terjadi karena alasan historis masing-masing negara Amerika Serikat dan Singapura dimana kesuksesan Singapura selalu dikaitkan dengan sifat diktator Lee Kuan Yew pada tahun 1960an, sementara Amerika Serikat sukses sebagai “champions of human rights” dikarenakan umur konstitusinya yang tua (350 tahun) dan reputasi Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam pembentukkan nilai-nilai hak asasi manusia (HAM) internasional.
Contoh lain yang aktual di Indonesia adalah kebebasan berekspresi yang dibatasi dalam konteks memeluk sebuah agama atau aliran kepercayaan tertentu. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri dalam negeri masing-masing No.03 Tahun 2008, No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan No.199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota dan/atau Pengurus JAI dan Warga Masyarakat. SKB ini keluar sebagai respons terhadap kondisi masyarakat yang meresahkan. Kondisi ini disebabkan oleh ditetapkannya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa Ahmadiyah adalah salah satu aliran sesat dan menyesatkan. Fatwa MUI ini memicu terjadinya ketegangan antara penganut Ahmadiyah dengan warga Islam di sekitar tempat tinggal mereka yang berujung pada intimidasi terhadap para penganut Ahmadiyah, pengrusakan rumah ibadah mereka, tidak diizinkannya para penganut Ahmadiyah untuk beribadah di mesjid, dan tindakan kekerasan terhadap para penganut Ahmadiyah. Menurut hemat penulis, akar permasalahannya adalah pada intervensi pemerintah dan MUI dalam hal mengambil posisi mengkriminalisasi atau mengharamkan suatu kebebasan berekspresi agama. Hal ini tidak dilarang di negara yang lebih progresif seperti Amerika Serikat, dimana kepercayaan atau agama bukan merupakan urusan negara, sehingga aliran kepercayaan apapun tidak dilarang kecuali jika hal tersebut menyebabkan gangguan keamanan dan sosial yang signifikan. Perbedaan ini terjadi di Indonesia dan Amerika Serikat karena nilai hidup yang sangat berbeda dalam konteks nilai keagamaan.
Dari kedua contoh diatas, dapat disimpulkan bahwa dilema terbesar dalam hak kebebasan berekspresi adalah perbedaan nilai budaya, ideologi, dan religius sebuah negara yang menyebabkan perbedaan definisi, paradigma, dan tingkatan perlindungan hak kebebasan berekspresi. Hal yang harus diingat adalah bahwa Indonesia dan Amerika Serikat merupakan negara penandatangan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan tinjauan historis terhadap terbentuknya hak kebebasan berekspresi dalam paradigma sarjana hukum internasional, pertentangan dua paham mainstream tentang HAM, dan memberikan masukan terhadap pentingnya pengaturan hukum internasional yang bersifat lokal dalam konteks hak kebebasan berekspresi.
II. MAKNA KEADILAN DALAM HAK ASASI MANUSIA UNTUK BEBAS BEREKSPRESI
A. Sejarah terbentuknya hak kebebasan berekspresi
Pasca Perang Dunia kedua dan tragedi Holocaust, disiplin HAM internasional menekankan pentingnya konsep non-diskriminasi sebagai prinsip yang fundamental. Prinsip ini terkandung dalam berbagai konvensi tentang HAM. Prinsip ini juga berlaku untuk semua orang dalam semua aspek sosial terutama melarang adanya diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, ras, dan warna kulit. Prinsip non-diskriminasi ini disempurnakan oleh prinsip kesetaraan (equality), seperti bunyi pasal 1 Deklarasi Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang HAM “Semua manusia dilahirkan bebas dan setara dalam hal harga diri dan haknya.” Pentingnya prinsip non-diskriminasi dalam hak asasi manusia dipahami dengan baik oleh banyak pihak. Alasan yang mendasari bersifat historis yaitu bahwa sejarah manusia kaya dengan tindakan diskriminatif dan tidak toleran yang menyebabkan terjadi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Oleh karena itu, pendapat bahwa diskriminasi dan rasisme merupakan pelanggaran harga diri manusia dan kesetaraan merupakan pendapat yang tidak mendapatkan pertentangan dari negara beradab manapun.
Hal yang tidak lumrah diketahui kebanyakan orang adalah bahwa institusi dan pengadilan internasional maupun nasional bersikeras bahwa hak kebebasan berekspresi merupakan unsur sentral dari rezim hak asasi manusia. Pendapat semacam ini muncul dari sejarah yang menggambarkan tragedi-tragedi terbesar di dunia untuk waktu beberapa abad yang dikarenakan kontrol absolut terhadap kebebasan berekspresi. Contoh dari tragedi tersebut adalah perbudakan dan perdagangan budak, metode penyiksaan dalam interogasi, Holocaust, genosida di Kamboja maupun Rwanda, rezim Stalin. Scammell berpendapat bahwa “kontrol terhadap kebebasan berekspresi merupakan alat penunjang kekuasaan. Tanpa alat tersebut, kekuasaan akan sangat susah untuk dipertahankan. Kontrol tersebut adalah alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan baik kekuasaan seorang individu, institusi, maupun negara. Alat ini merupakan esktensi dan manifestasi dari kekuatan fisik ke dalam alam pikiran dan jiwa. Kontrol ini mencakup semua bentuk intervensi terhadap hak asasi individual untuk berpendapat dan mengungkapkannya tanpa rasa takut. Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan lembaga sensor yang sangat sukar dan kompleks untuk diatasi.
B. Mengapa hak kebebasan berekspresi penting?
Memahami permasalahan yang dijelaskan dalam paragraf sebelumnya, pentingnya hak kebebasan berekspresi menjadi fokus pengaturan dalam berbagai pengadilan internasional atau institusi yang terkait. Pada tahun 1946, yang merupakan sesi pertama United Nations General Assembly (GA), GA mengadopsi Resolusi 59 (I) yang berbunyi “Kebebasan memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan... pilar dari semua hak kebebasan yang dijunjung tinggi oleh PBB.” Hal senada juga disampaikan oleh beberapa pengadilan dan badan subsider PBB. Contoh, UN Human Rights Committee menyatakan bahwa “Hak kebebasan berekspresi merupakan hak prioritas dalam masyarakat yang demokratis.” Pentingnya hak kebebasan ekspresi juga diutarakan oleh The European Court dalam kasus Handyside, serta Inter-American Court of Human Rights.
Jaminan terhadap kebebasan berekspresi mempunyai tingkatan pengaruh yang berbeda terhadap medianya. Media merupakan fokus penting dari perhatian para aktivis hak kebebasan berekspresi. Ini adalah medium pertama yang akan dikuasai pemerintah, kekuatan ekonomi, dan politik untuk mempertahankan kekuasaannya dan mematikan gerakan oposisi. Sebagai kunci utama dari kebebasan berkomunikasi dan berekspresi, kekuatan dari media untuk berfungsi secara independen sangat menentukan tingkat kebebasan berekspresi di sebuah masyarakat. Amyrta Sen membuktikan hal ini dengan mengambil contoh Chinese famine pada tahun 1958-1961, dimana sensor dan penghilangan akses kepada informasi berakibat sangat buruk bagi masyarakat miskin. Lebih buruknya lagi, hal tersebut menyebabkan pemerintah salah mengambil langkah dalam perumusan kebijakan yang berakibat pada meninggalnya jutaan jiwa. Amyrta Sen berpendapat bahwa “Tidak akan ada tragedi kelaparan jika ada kebebasan pers/media...”
Contoh bentuk sensor kepada media adalah dengan menentukan content yang diizinkan untuk dalam pemberitaan media massa, kepemilikan media massa, kontrol terhadap editorial, kontrol terhadap pihak yang mempunyai akses terhadap frekuensi radio dan jangka waktunya, serta apa yang boleh dipublikasikan serta apa yang tidak. Kebebasan berekspresi memungkinkan masyarakat untuk menuntut hak kesehatan, hak terhadap lingkungan yang lebih bersih dan kebijakan yang efektif dalam mengurangi angka kemiskinan. Hal ini juga meningkatkan kualitas demokrasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berkuasa serta meningkatkan transparansi yang berakibat pada pencegahan terjadinya korupsi. Dengan kata lain ketika kekuatan media massa dikekang, maka realisasi dari perlindungan atas hak lainnya akan sulit.
III. PENGATURAN INTERNASIONAL HAK ASASI MANUSIA
Pengaturan dalam konvensi internasional yang hendak penulis angkat dalam tulisan ini dapat ditemukan pada pasal 19 ICCPR. Pasal 19 ICCPR menyatakan bahwa:
1. Setiap orang berhak mengeluarkan pendapat tanpa bentuk intervensi apapun.
2. Setiap orang mempunyai hak kebebasan berekspresi. Hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi tertentu dalam bentuk apapun baik secara lisan maupun tulisan, dalam bentuk seni atau media lainnya sesuai pilihan dan kehendak orang yang bersangkutan.
3. Hak kebebasan berekspresi yang dimaksud ayat 2 harus dilaksanakan dengan tanggung jawab tertentu. Oleh karena itu, boleh dibatasi, namun pembatasan ini harus dalam bentuk peraturan hukum dan perlu:
a. Untuk menghormati hak atau reputasi pihak yang lain
b. Untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, atau moral.

Salah satu permasalahan dengan pasal ini adalah (1) tidak ada pemisahan yang jelas antar hak mengeluarkan pendapat dengan hak (ayat 1) dengan hak berekspresi dan (2) diskresi ada di tangan penguasa untuk menentukan kondisi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan publik, atau moral. Pengaturan terhadap syarat-syarat penguasa boleh mengecualikan hak kebebasan berekspresi adalah (1) tidak boleh membahayakan kelangsungan hak itu sendiri (2) pengecualian tersebut harus diatur oleh hukum (3) Pengecualian ini hanya boleh diterapkan kepada salah satu pasal ,19(3) (a) atau (b) (4) Harus ada alasan tentang pentingnya negara atau penguasa melakukan pengecualian tersebut.
Penulis berpendapat bahwa keempat faktor di atas merupakan masalah utama dari kompromi antara pengaturan universal ICCPR dengan penyesuaian dengan nilai lokal masing-masing negara anggota ICCPR. Pengaturan semacam pasal 19 ICCPR menciptakan dikhotomi dengan memberikan ruang interpretasi yang sangat besar bagi masing-masing negara anggota, namun di lain pihak juga menetapkan syarat-syarat yang ketat bagi pengecualian pelaksanaan hak kebebasan berekspresi.
IV. DILEMA PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS HAK KEBEBASAN BEREKSPRESI
A. Universalist Versus Cultural Relativist
Pertentangan besar dalam rezim pengaturan HAM adalah antara penganut paham universalist dan cultural relativist. Paham universalist mengatakan HAM merupakan hak yang sangat mendasar dan pada hakekatnya pasti semua manusia memiliki nilai-nilai yang sama yaitu kemanusiaan. Contoh, tidak ada seorang manusia yang setuju kepada genosida, dimana 500.000 nyawa dibunuh hanya karena warna kulit, agama, ras, ataupun pandangan politik tertentu. Dasar inilah yang menjadikan nilai HAM pengaturannya harus universal. Sementara itu, penganut paham cultural relativist mengatakan bahwa diversitas kebudayaan merupakan sebuah realita. Universalisme tidak harus dipahami sebagai penyamarataan (uniformitas).
1. Prinsip ideal konsep universalisme
Pertanyaan utama adalah apakah semua prinsip hak asasi manusia benar-benar bersifat universal? Bagi sarjana negara Barat, relativisme budaya hanya merupakan justifikasi bagi para diktator untuk mempertahankan kekuasaannya. Para sarjana tersebut berpendapat bahwa para diktator yang melakukan pelanggaran HAM berat adalah sebagian dari kalangan yang mendukung argumen cultural relativist. Globalisasi atau modernisasi kebudayaan telah menyebabkan globalisasi nilai-nilai HAM. Oleh karena itu, tidak mungkin ada kebudayaan yang bertahan dalam bentuknya yang murni di negara manapun. Bukti dari pernyataan diatas adalah tidak ada sebuah negara pun yang menolak prinsip Universal Declaration of Human Rights. Pengakuan terhadap diversitas kebudayaan sebagai fakta empiris tidak bisa menjustifikasi pelanggaran HAM berat. Pembunuhan adalah pembunuhan baik itu dilakukan di Amerika Serikat, Asia, atau Afrika. Tidak ada satupun negara di dunia yang mengklaim bahwa penyiksaan (torture) merupakan bagian dari warisan kebudayaan mereka. Semua orang mempunyai hak untuk diakui sebagai seorang manusia atau individu di hadapan hukum.
2. Tidak Semua HAM Bersifat Universal
Penulis berpendapat bahwa pandangan kaum sarjana Barat kurang tepat atau kurang spesifik dalam perumusan idenya. Alasannya adalah karena gradasi HAM sangat luas, mulai dari genosida, hak untuk tidak disiksa, atau didiskriminasi karena warna kulit, hak turut serta dalam pemerintahan, hak memeluk agama, hak mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak dan wajar. Gradasi ini menyebabkan tingkat perlindungan yang berbeda-beda antara satu HAM dengan HAM lainnya. Contoh, genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi militer, dan perang merupakan beberapa contoh kejahatan internasional (international crimes) berdasarkan pasal 5 Statuta International Criminal Court. Implikasi terhadap status atau label kejahatan internasional melahirkan prinsip jus cogens dan erga omnes obligations. Berdasarkan putusan International Court of Justice (ICJ) dalam kasus Barcelona Traction tahun 1980, ICJ menyatakan bahwa tergolongkannya sebuah kejahatan dalam kategori pelanggaran prinsip jus cogens melahirkan jurisdiksi universal terhadap kejahatan tersebut. Artinya, semua negara di dunia mempunyai hak dan kewajiban untuk menyidik dan menuntut pelaku kejahatan tersebut. Dalam kasus tersebut, ICJ juga menyatakan bahwa kejahatan yang menimbulkan kewajiban erga omnes adalah jenis kejahatan yang menyentak rasa kemanusiaan dan keadilan semua orang. Kejahatan yang dijelaskan di atas mempunyai gradasi yang berbeda dengan hak untuk mendapatkan perlakuan hukum yang sama. Perbedaannya adalah ICCPR tidak memberikan status jus cogens atau peremptory norms terhadap hak tersebut. Meskipun ada beberapa sarjana yang mengatakan bahwa hak mendapatkan perlakuan hukum yang sama diakui dalam hukum kebiasaan internasional (customary international law). Gradasi yang lebih rendah daripada hak persamaan hukum adalah hak berserikat (right to assembly) atau hak berkumpul, dimana perlindungan hak ini masuk dalam prioritas yang rendah. Artinya, jika terjadi konflik antara hak-hak di atas maka hak untuk tidak dibunuh karena ras (genosida) akan lebih diprioritaskan daripada hak untuk berserikat.
B. Dikhotomi Pemilahan HAM
Pandangan sarjana Barat tepat dalam konteks pelanggaran HAM berat atau prinsip jus cogens, namun tidak tepat untuk hak-hak seperti hak berserikat atau berekspresi. Kelemahan pendapat seperti itu adalah tidak cermatnya menarik garis pemisah antara hak yang bersifat universal dengan hak-hak yang sangat terkait dengan nilai kebudayaan, ideologi, dan agama sebuah negara. Pemilahan hak ini sangat penting dalam memberikan perspektif HAM internasional yang bersifat lokal. Kepentingan yang penulis maksud adalah terkait dengan perlindungan HAM itu sendiri. Jika pengaturan HAM bersifat terlalu universal dan sulit diterima oleh golongan tertentu, maka perlindungan HAM akan kehilangan maknanya dan cenderung bersifat protokoler, politis, elitis, dan rigid. Alasan perancang ICCPR memasukkan pasal 4 tentang pengecualian pemenuhan kewajiban ICCPR dalam kondisi public emergency adalah advokasi agar negara-negara di dunia terdorong untuk meratifikasi atau mengaksesi konvensi tersebut. Jika pandangan sarjana Barat itu diikuti dalam ICCPR secara absolut, maka akan terjadi kekacauan politik di arena internasional.
1. Hak Kebebasan Berekspresi di Singapura
Sarjana ASEAN yang senada dengan pendapat di atas, selain Kausikan adalah Li-ann Thio. Li-ann berpendapat bahwa pendapat sarjana Barat sangat kental dengan motif politik yang bertujuan untuk menekan negara-negara Asia dan ASEAN pada khususnya sehingga HAM tidak bertujuan untuk melindungi hak dasar manusia tapi digunakan sebagai senjata politik. Golongan ini, menurut Li-ann Thio adalah universalist pretention. Berkaitan dengan hak kebebasan berekspresi, Kausikan menjelaskan contoh kasus Dr.Lingle. Dalam kasus Dr Lingle, Amerika Serikat menuntut agar Singapura memberikan imunitas kepada warga negara Amerika Serikat di Singapura dari tindakan penyidikan atas kemungkinan contempt of court dan criminal defamation sistem peradilan Singapura. Argumen Amerika Serikat ini didasarkan pada pendapat bahwa perlindungan hak kebebasan berekspresi merupakan nilai HAM universal dan Singapura melanggar nilai tersebut. Kausikan berpendapat bahwa tidak mungkin Singapura mengundangkan dua hukum yang berbeda, di mana yang satunya mengikat warga negara Singapura dan yang lainnya mengikat warga negara non-Singapura atau Amerika Serikat. Kausikan juga berpendapat bahwa jika hal tersebut dilakukan Singapura maka mereka diskriminatif dalam perlakuan terhadap warga negara sendiri dan orang asing. Selain itu, tidak ada satupun negara di dunia yang bisa secara legal mendiskriminasi hak dari warga negaranya dengan warga negara lain.
2. Hak Kebebasan Berekspresi di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, menurut hemat penulis, kebebasan berekspresi malah digunakan sebagai sarana mencari uang dan kekuasaan. Sudah menjadi rahasia umum, dalam kegiatan pers, banyak wartawan yang meminta atau bahkan memeras public figure atau institusi tertentu untuk membayar sejumlah uang agar editorial tidak memasukkan informasi yang menjelekkan orang ataupun institusi tersebut. Selain itu, dalam konteks pemilu, banyak jurnalis ataupun wartawan yang meliput profil seorang calon legislatif maupun calon eksekutif (gubernur, walikota, dan kepala camat) sebagai “pesanan” dari calon bersangkutan. Profil tersebut cenderung bias karena jurnalis yang menulis atau melaporkannya diberikan insentif tertentu. Hal ini gagal diakomodasi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Kasus lain yang menjadi permasalahan kronis hak kebebasan berekspresi adalah kasus Ahmadiyah, dimana pers digunakan sebagai media untuk mendiskriminasi dan memicu ketegangan antara umat Islam dengan penduduk minoritas Ahmadiyah. Hal ini dilakukan secara sistemik dan birokratis oleh penguasa dengan dikeluarkannya SKB yang melarang kegiatan ibadah maupun ritual keagamaan Ahmadiyah. Kasus semacam ini tidak bisa ditangani oleh ICCPR dan merupakan salah satu kelemahan utama ICCPR sehingga negara anggota bisa menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyat kecil dengan menggunakan media pers.
V. Kesimpulan
HAM merupakan hak yang sangat mendasar sehingga semua negara seharusnya sepaham dalam hal pengaturannya. Namun, diversitas budaya juga merupakan sebuah realita dan diversitas budaya mempengaruhi tingkatan perlindungan HAM yang diberikan masing-masing negara. Dalam konteks hak kebebasan berekspresi, penulis, berpendapat bahwa pasal 19 ICCPR masih perlu khasanah nilai lokal negara-negara anggota. Pembelajaran dari kasus Singapura dan Indonesia menunjukkan dua kasus ekstrem kelemahan ICCPR, dimana pada kasus Singapura kebebasan pers begitu dikekang sehingga muncul pendapat bahwa pemimpin Singapura seorang diktator, sementara itu, pers di Indonesia dipandang begitu liar dan tidak terkendali sehingga fungsi pers tidak sebagaimana yang dimaksud ICCPR, namun untuk tujuan yang politis. HAM merupakan disiplin ilmu yang kental dengan aspek sosiologisnya sehingga tidak tepat jika pengaturannya bersifat universal, namun, juga tidak tepat jika negara diberikan hak mengatur tingkat perlindungan kebebasan berekspresi sendiri. ICCPR perlu menjabarkan konsep irreducible core, dalam bahasa Kausikan, sebagai konsensus negara-negara anggota ICCPR atas beberapa nilai HAM yang universal dan mengatur dengan fleksibel, namun tegas dan jelas, hak lain yang sangat berkaitan dengan nilai budaya setempat, seperti hak kebebasan berekspresi. Seperti logo HSBC, penulis akan menutup karya tulis ini dengan slogan think globally act locally.

No comments:

Post a Comment